MAKALU2004 — Jakarta – Peningkatan peran pengasuhan ayah terhadap anak didorong lewat Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Senin pagi, 14 Juli 2025 adalah momen pertama anak-anak mengarungi tahap kehidupan baru di bangku sekolah, baik di sekolah dasar maupun perpindahan ke jenjang yang lebih tinggi. Momen ini terlihat pula di SMAN 9 Jakarta.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/Kepala BKKBN, Dr. Wihaji, S.Ag, M.Pd, mengunjungi langsung SMA tersebut untuk melihat dan memantau secara langsung peran para ayah.
Wihaji menggarisbawahi bahwa gerakan ini menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan di Indonesia. Dari yang semula terpusat pada peran ibu, menjadi lebih kolaboratif dan setara.
Ia pun menjadi pembina upacara dalam kunjungan tersebut dan mengemukakan beberapa permasalahan yang terjadi di kalangan remaja saat ini.
“Berdasarkan data 20,9 persen anak Indonesia mengalami fatherless atau kehilangan ayahnya,” ujar Wihaji dalam keterangan resmi.
Dia menekankan bahwa karakter orangtua penting untuk pertumbuhan anak. Di sisi lain, banyak anak yang telah duduk di bangku SMA merasa malu atau gengsi untuk berkomunikasi atau berinteraksi lebih dalam dengan orangtua, termasuk ayah, karena mereka merasa telah dewasa.
Penggunaan Gawai Berlebih Bikin Interaksi dengan Orangtua Berkurang
Tak lupa, Wihaji menyoroti penggunaan gawai yang seolah kini menjadi anggota baru keluarga.
Meski tidak anti terhadap penggunaan ponsel, ia mengingatkan bahwa penggunaan yang berlebihan akan sangat memengaruhi pola komunikasi anak dan orangtua.
Mengutip hasil survei, Wihaji menuturkan, rata-rata anak menggunakan ponsel 8,5 jam dalam sehari. Akibatnya, mereka sangat kurang berinteraksi dengan orangtua.
Mempertegas pernyataannya itu, Wihaji mewawancarai seorang siswi.
“Saya jarang ngobrol dengan orangtua saya. Ketika saya pulang, orangtua saya belum pulang. Ketika orangtua saya pulang, saya sudah tidur. Dalam satu minggu saya ngobrol hanya dalam waktu 30 menit,” ujar siswi tersebut.
Dialog dengan Ayah Siswa
Setelah bertemu dengan para siswa, Menteri Wihaji bertemu langsung dan berdialog dengan para ayah.
“Anak-anak kita hari ini seperti kehilangan orangtua, ada tapi seperti tidak ada. Hal ini karena ada gawai yang saya sebut dengan keluarga baru,” ucap Wihaji.
“Jadi, jangan salahkan anak jika mereka tidak menuruti kata kita karena faktanya mereka lebih lama berinteraksi dengan handphone,” tambahnya.
Penggunaan gawai yang berlebihan, menurut Wihaji, menjadi sebab kurangnya interaksi antara ayah dan anak. Padahal, mereka adalah generasi yang akan menggantikan generasi sebelumnya. Kurangnya interaksi anak dengan ayah juga akan berdampak pada karakter anak. Maka, dapat muncul generasi yang disebut dengan strawberry generation.
Generasi stroberi adalah generasi muda yang dianggap memiliki potensi besar namun juga mudah merasa tertekan atau rapuh. Seperti buah stroberi yang tampak indah dari luar tetapi mudah hancur jika terkena tekanan.
Atasi Krisis Fatherless
Maka dari itu, Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah digagas. Gerakan ini dilandasi Surat Edaran Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN Nomor 7 Tahun 2025 tentang Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah.
Tujuannya, mengatasi krisis fatherless di Indonesia, yakni minimnya keterlibatan figur ayah dalam pengasuhan anak.
Surat Edaran tersebut ditujukan untuk jajaran aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemendukbangga/BKKBN. Namun, gerakan ini dinilai memiliki momentum yang strategis untuk diperluas cakupannya secara nasional, sekaligus menjadi bagian dari implementasi kampanye Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI).